RESOLUSI TANPA AKSI
Penghujung tahun 2017 sudah berlalu menuju lembaran baru
untuk terus maju di tahun yang baru. Ya, selamat datang tahun 2018. Semua orang
mau tidak mau harus menerima kalau kita semua sudah berada pada tahun dimana semuanya
mencoba untuk jauh lebih baik dan lebih berkembang dibandingkan tahun lalu.
Bagi para penggiat sosial media, mereka bebondong-bondong menyebarkan kepada
para pengikutnya tentang resolusi baru mereka di tahun ini. Dengan cara yang berbeda-beda mereka memberitahukan resolusi masing-masing, dengan harapan membuat
perubahan yang lebih baik dibandingkan apa yang sudah pernah mereka jalankan.
Sedikit klise memang, setiap resolusi yang disampaikan dan disebarkan pada
intinya membuat jati diri seseorang jauh atau bertambah menjadi lebih baik
kedepannya. Tidak ada yang salah pada mereka yang menyampaikan resolusi mereka
kepada khalayak ramai, terlebih bagi mereka yang merupakan seorang public
figure, namun atas segala resolusi yang disampaikan kemudian dilaksanakan tanpa adanya
sebuah aksi, dapatkah itu terealisasi?
Ketika di awal perjalanan antara tekad yang muncul dari suara hati untuk menyelesaikan sejalan dengan langkah tubuh untuk
melaksanakan demi mencapai tujuan yang sama dengan berlandaskan pada
sebuah target bernama resolusi, namun ketika langkah niat dengan langkah tubuh sudah mulai
tidak berjalan secara bersamaan lagi ini yang akan menyebabkan munculnya omongan basi. Hingga pada akhirnya apa yang ditargetkan di awal tahun akan berbeda
dengan apa yang direaliasikan di penghujung tahun.
Banyak resolusi hanya akan menjadi waiting list semata ketika diri sendiri tidak siap untuk
melaksanakannya. Seakan-akan hanya menjadi wacana dan omongan semata atas apa yang
sudah ditargetkan untuk direalisasikan. Mudah saja untuk berkilah dengan
mengucapkan kalimat “Apa yang tidak tercapai akan menjadi resolusi di tahun berikutnya”
atas kegagalan yang kita capai. Seharusnya tidak perlu mendeklarasikan resolusi
jika jati diri tidak cukup sanggup untuk menjalani atau menyampaikan resolusi hanya sebuah caption belaka sebagai jembatan antara
penghujung dengan awal bagi karir seseorang?
Mungkin kita perlu memahami sistem kerja sebuah kamera. Sama dengan
kita, kamera juga memiliki resolusi dengan sudut pandang yang berbeda namun
tidak lantang menyebutkan kalau dia merupakan sebuah benda yang harus dibutuhkan dalam kehidupan.
Hanya cukup mereka (manusia) saja yang mengambil kesimpulan atas realisasi
dari sebuah sistem kerjanya. Hasilnya adalah sebuah apreasiasi yang berujung
kebutuhan adanya kamera di kehidupan penggunanya (manusia). Padahal kamera saja tidak begitu angkuh memperlihatkan kebesaran dari
capaian resolusi dari hasil output-nya.
Hanya cukup pihak lain saja yang mengapresiasi hasil resolusi dari sistem kerjanya.
Komentar
Posting Komentar